Kampuang escape: part 2

Cerita berikutnya adalah tentang waktu enam hari yang dihabiskan di kampuang. Berhubung senin malam kami sampai, dan karena kelelahan menempuh perjalanan panjang, setelah mandi, makan malam dan ngobrol sebentar kami putuskan beristirahat. Hari sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih.

Selasa menjadi hari pertama menjalankan rutinitas di kampuang. Mama tetiba menjadikan kami anak2 sholehah dengan menyuruh shalat shubuh di masjid di seberang rumah. Untungnya shubuh di kampuang masih berada di jam 5 pagi kurang, disaat di Jawa sudah mendekati jam 4 pagi. Aktivitas kami berikutnya adalah piknik ke pasia aka Danau Singkarak. Menyenangkan sekali perjalanan ke pasianya, pemandangan sawah, pohon kelapa dan bukit barisan memberikan nuansa eksotis yang berbeda dengan rutinitas harian saya. Kondisi pasia yang tenang airnya melengkapi keeksotisan ini. Kami habiskan waktu dengan makan bekal yang kami bawa, mengumpulkan pensi dengan gampang karena air yang sangat tenang dan bening, berpoto-poto serta ngobrol ngalor ngidul. Sampai jam 11 kami puaskan menikmati pasia. Selepas shalat dhuhur, kami semua pergi ke Solok naik angkot. Tujuannya tentulah makan sate padang dan es tebak di pasar Solok. Memang ini adalah dua menu wajib kalau pulang kampuang. Tidak lama sih kami di Pasar Solok, menjelang ashar sudah kembali lagi ke rumah.

Rabu, hari kedua agendanya adalah berjalan pagi menuju villa. Ceritanya olahraga sambil menikmati pemandangan, tapi kami tergoda beli gorengan panas. Pisang, ubi goreng dan tahu isi. Wah rasanya beda dengan gorengan di Jawa. Apalagi saus untuk makan tahu isinya, wow, nikmat sekali. Rasa baru. Aktivitas pagi kami sedikit terkendala hujan yang turun. Niat mau mandi di air sumber ulu aia terpaksa dibatalkan karena hujan tak kunjung berhenti. Menjelang ashar hujan mulai reda, akhirnya kami putuskan untuk tour de kampuang dalam rangka silaturahim dengan berjalan kaki. Perjalanan dimulai ke rumah Ni Len, makam papa Nini dan Ni Mir, rumah Tek Wir, rumah Ni Nov, rumah gadang ayah buat ketemu Tek Yen dan terakhir rumah Pak Fahmi. Menjelang magrib kami sampai di rumah lagi.

Kamis, alhamdulillah cuaca cerah. Pagi kami putuskan jalan kaki ke sawah mama. Dan sama seperti kemarin, berbekal gorengan anget kami makan di gubuk orang dikelilingi sawah-sawah yang mulai menguning. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan naik angkot sewaan ke bukik mama, bukik palo banda. Di sini saya melihat pohon kemiri yang sangat besar sekali. Baru ini tau kalau kemiri itu dari pohon, kirain dari tanaman perdu-perduan gitu. Makan siang di bukik. Habis itu perjalanan lanjut ke ulu aia di Pinyangek. Perjalanan sekitar setengah jam. Dan benar, tempatnya eksotis meski blm tersentuh kenyamanan wisata. Airnya bening dan dingiiin. Meski siang bolong kami mandi tapi dinginnya terasa sekali. Puas juga berenang meski pakai baju harian yang berat. Habis berenang, macam ngikutin tradisi gitu, makan popmie di warung hahaha. Sore harinya kami motoran ke arah Singkarak. Sebentar saja, selanjutnya kami putuskan nongkrong di Dendi Villa Cafe. Cafe di kampuang dengan style cafe kekinian. Harga dan menu makanannya juga sejenis, tidak terlalu menarik bagi saya yang sedang ingin mencari otentitas kampuang.

Jumat pagi, waktunya menuju Balai Jumat, pasar seminggu sekalinya Nagari Saniangbaka. Yang menarik dari Balai Jumat ini, tentulah kulinernya. Kami borong hampir semua jenis jajanan, hanya untuk memuaskan lidah dengan cicip mencicip semua jenis jajanan. Setelah dari Balai Jumat, saya putuskan di rumah saja menyelesaikan SKP, disaat orang2 pergi ke acara aqiqahan. Saya tidak ingin ikut kumpul2 orang kampuang, pasti berasa awkward. Siang hari, kembali di guyur hujan sampai ashar. Karena cuaca membaik sesudah ashar, kami putuskan motoran lagi ke arah yang lebih jauh dari Singkarak, Taluk namanya. Disini banyak rumah2an tepi danau buat nongkrong menikmati sore di danau. Tapi belum lama kami duduk, hujan deras mengguyur. Akhirnya waktu digunakan untuk menanti hujan reda, dan karena tetap mendung gelap kami putuskan saja pulang menantang hujan. Basaaah.

Sabtu adalah waktunya ke Bukittinggi, time for shopping. Berangkat jam 10 pagi, nyewa mobil plus sopir. Jam 12 mampir di sebuah resto nasi kapau yang cukup ramai. Meski agak mahal tapi memang rasa masakannya luar biasa. Cita rasa minang yang mungkin susah didapat di rantau. Lalu perjalanan dilanjut ke sebuah objek wisata taman bunga, Elzatta. Macam di Batu aja, tempat yang penuh spot poto, tapi tanamannya keren-keren lah. Next, menuju Pasar Bukittinggi. Wah sudah lama ga ke pasar rasanya saya kok lapar mata, pengen beli semua. Ga banyak2 sih shoppingnya, cukup beli mukena instan, selimut dan celana batik aja. Yang banyak belanja tu di Jam Gadang. Beli oleh2 kaos buat orang2. Jam 5 sore kami putuskan pulang dan pas hujan lebat langsung turun. Alhamdulillah kami sudah di mobil. Turun mobil berikutnya hanya untuk makan Bika Talago, yummy.

Minggu pagi, waktunya ke Balai Akad di Sumani. Meski becek sangat tapi kami tak pedulikan demi makan katupek pitalah dan pical. Selain makan di tempat tak lupa untuk bungkus2 jajan lainnya. Minggu siang kami ke Solok naik angkot carter. Tujuan makan sate padang Paris lagi, kali ini minumnya es pokat. Mantap. Trus dilanjutkan beli oleh2 camilan. Malamnya tinggal packing2 karena besok pagi2 habis shalat shubuh waktunya balik ke Jawa (Bersambung).

Kampuang Escape: part 1

Pertengahan Oktober 2021 saya putuskan ikut Nini dan Ni Mira untuk pulang kampung, dalam rangka menjemput mama. Keputusan nekad sebenarnya diantara tumpukan pekerjaan, tapi saya tutup mata saja. Demi kampung yang sudah hampir 5 tahun tidak dikunjungi. Perjalanan pulang kami tempuh dengan naik bis ANS dari Cileduk-Sumani hari Minggu tanggal 17 Oktober 2021. Ada dua jenis bis ANS dalam perjalanan ini, satu kategori royal yang lebih luas dan ada untuk meluruskan kaki, dan satu lagi kategori eksekutif yang katanya sedikit lebih sempit dibandingkan royal. Kami naik royal dan saya bersama Ni Mira duduk di kursi paling depan persis di belakang sopir. Satu kelebihan bis ANS ini adalah ada pembatas antara sopir dengan bagian penumpang yang cukup kedap suara. Selama perjalanan, saya perhatikan bagian sopir tersebut bisa menjadi ruang merokok dan tidak mengganggu penumpang dengan asapnya.

Perjalanan dari Cileduk sampai Pelabuhan Merak berjalan lancar dan cukup singkat karena full melalui tol. Berangkat pukul 11 pagi dari Cileduk, jam 14.00 kami sudah berada di atas Selat Sunda. Hampir dua jam penyeberangan, kami manfaatkan untuk makan bekal yang telah disiapkan istri Arpan dan selebihnya main hape saja. Saya bisa menuntaskan satu dokumentari Netflix dengan judul Misha and the Wolves yang menceritakan tentang penipuan yang dilakukan oleh seorang wanita yang mengaku selamat dari peristiwa Holocoust dan hidup bersama kawanan serigala saat kecil.

Menjelang sore hari kami masuk Pulau Sumatra, Pelabuhan Bakauheni dan langsung masuk tol. Sepanjang jalan disuguhi hamparan berbagai perkebunan buah-buahan dan saya hanya ingat pohon pisang saja. Lampung mungkin terkenal dengan produksi pisangnya. Jam 5 sore kami berhenti di sebuah pemberhentian dan sekitar setengah jam perjalanan dilanjutkan lagi. Tapi baru beberapa saat, bis berhenti lagi di rest area untuk melaksanakan shalat magrib. Menurut Ni Mira, bis malam lintas Sumatra cukup sholeh dengan selalu berhenti pada waktu shalat magrib dan shubuh. Setelah shalat magrib, langit mulai gelap dan karena kami memutuskan tidak makan malam langung saja saya ambil posisi nyaman untuk tidur. Cukup nyenyak tidur saya, meski bis kadang-kadang terasa berguncang-guncang karena jalan yang tidak terlalu baik. Bahkan saya tidak terlalu tahu bahwa bis berhenti cukup lama di sebuah pom bensin. Jam 4 pagi bis berhenti di sebuah area yang saya tidak tahu dimana. Kami turun untuk ke toilet dan meluruskan pinggang. Waktu shubuh belum masuk sehingga kami putuskan shalat di bis saja. Setelah itu, mulai perjalanan yang penuh goncangan karena sudah masuk jalan lintas Sumatra (bukan tol lagi yang artinya sudah lepas Palembang karena batas terakhir tol adalah Palembang). Jalan penuh lubang, kecil dan itu membuat saya merasa sedang naik atraksi ombak banyu di pasar malam.

Pagi menjelang siang, perjalanan rasanya tak kunjung usai. Tapi bersyukur karena sudah siang sehingga bisa memperhatikan pemandangan Sumatra yang tampak berbeda dengan Pulau Jawa. Jam 14.00 baru kami berhenti lagi di sebuah daerah di Jambi. Toilet dengan air yang keruh berwarna merah adalah salah satu yang saya ingat di pemberhentian ini. Perjalanan kembali dilanjutkan dan jam 15.00 bis berhenti lagi di RM Palapa, sebuah kota di perbatasan Jambi-Sumatra Barat. Disini saya pertama makan masakan asli rumah makan padang (saya mau biasakan untuk menyebut masakan minang, tapi kok aneh ya). Perjalanan buka tutup karena jalan yang diperbaiki menjadi highlight dari sore hingga matahari terbenam. Akhirnya jam 19.00 kami masuk Terminal Solok. Karena tidak ingin menunggu terlalu lama, akhirnya Nini mengatur penjemputan kami menggunakan angkot carteran untuk sampai di Saniangbaka. Jam 21.00 kami sampai di rumah disambut mama, nipa dan juga hujan. Perjalanan yang melelahkan selama hampir 33 jam di bis. Meski melelahkan tapi kalau bisa berdamai dengan diri sendiri selama perjalanan, inshaallah tidak akan jadi masalah (Bersambung).