Chef’s Kim Restaurant

Dari judulnya pasti sudah ketebak tulisan kali ini tentang apa. Yup, makanan Korea. Kebetulan resto itu baru (ga baru-baru banget sih) buka di Malang. Dan semuanya berawal dari keinginan Ledy (sohib and rekan kerja saya) untuk mencoba dan secara langsung mengenal masakan Korea. Dia ingin saya sebagai orang yang pernah tinggal di Korea menjelaskan langsung padanya sambil makan.

Setelah cukup lama hanya berencana, akhirnya kami (plus kiki, yg juga sohib dan rekan kerja saya) putuskan hari Kamis sore yang lalu makan di Chef’s Kim. Letaknya tidak terlalu jauh dari kampus. Karena sore hari, saat kami datang tidak banyak pengunjung. Namun karena kami disana cukup lama, saya bisa simpulkan resto ini cukup diminati.

Saat buku menu dibuka, semua nama masakan terasa familiar, meski terasa aneh karena membaca pakai huruf latin. Semua masakan bisa saya jelaskan, meskipun beberapa masakan sebenarnya belum pernah saya cicipi. Alasannya karena di Korea harus hati-hati memilih masakan yang tidak mengandung babi atau daging. Ledy dan Kiki sangat antusias melihat jenis-jenis masakan itu. Maklumlah, mereka para pencinta drakor dan budaya Korea. Sama dengan saya, dan saya bisa klaim saya yang paling veteran.

Akhirnya kami putuskan memesan empat jenis masakan: jajangmyeon, tteopokki, yangnyeom chicken dan ramyeon. Untuk minumnya, kami pesan yucacha hangat. Saat makan, mereka berdua meminta pendapat saya tentang rasanya, apakah sama dengan rasa asli di Korea-nya. Saya bilang hampir mirip kok. Mungkin hanya sedikit-sedikit beda seperti saos tteopokkinya yang terlalu kental. Kalau Jajangmyeon, selama di Korea saya tidak pernah makan karena masakan ini sebenarnya mengandung babi. Kalau di Chef’s Kim, jajangmyeonnya pakai daging ayam makanya saya mau pesan. Terus terang saya penasaran dengan rasa jajangmyeon. Empat menu itu kami makan bersama dan dengan porsinya yang cukup besar dan semua terasa berat, membuat kami kekenyangan.

Dari kiri ke kanan: tteopokki, ramyeon, yangnyeom chicken, jajangmyeon

Hampir dua setengah jam kami disana, sambil ngobrol ngalor ngidul. Tentu temanya tidak jauh-jauh dari drakor dan diselingi sedikit omongan pekerjaan. Saya tanya pendapat mereka tentang masakan dan resto ini, dan mereka menyukai masakannya namun tidak untuk dimakan secara rutin. Sekali-sekali saja, dan saya-pun sepakat. Bagaimanapun juga masakan Indonesia tetap jauh lebih enak. I ❤ Indonesia.

Aktivitas seperti ini penting untuk mem-balance-kan hidup

Laptop

Pekerjaan saya harus terhenti gara-gara laptop saya tiba-tiba mengalami error dengan tulisan Bahasa Jepang yang tidak bisa saya baca dan tidak saya pahami sama sekali. Laptop ini sudah berumur satu tahun dan saya beli saat saya sedang di Fukuoka selama 6 bulan. Kira-kira satu bulan yang lalu, mungkin tepat setahunnya laptop ini saya beli, dia minta update software. Sejak minta update itulah, saya sering merasa tiba-tiba dia error dan kalau ini sudah terjadi satu-satunya yang saya bisa lakukan me-restart-nya. Dan ini sering terjadi kalau saya gunakan laptop saat weekend, apa ini pertanda saya tidak boleh kerja di akhir pekan? Hmmm…

Berbicara tentang laptop, saya telah merasakan membeli laptop sebanyak tiga kali sejak tahun 2007 hingga sekarang tahun 2020. Dan ketiganya saya beli tidak di Indonesia. Bukan saya sombong dengan membeli laptop di luar negeri, namun karena memang kebetulan saat harus membeli laptop, posisi saya sedang di luar negeri. Atau mungkin karena saya punya uangnya saat saya ada di luar negeri ya? Hmmm…

Laptop pertama saya, Toshiba, saya beli di Newcastle, Australia tahun 2007. Saat itu saya baru akan memulai studi S2 saya. Alhamdulillah settlement fee dari beasiswa cukup untuk membantu saya membeli laptop. Hampir 6 tahun saya menggunakan laptop itu. Saya adalah tipe orang yang kalau tidak rusak tidak akan diganti. Meskipun lama kelamaan laptop Toshiba ini mulai kelihatan jadul dan aneh dibandingkan laptop keluaran terbaru, tapi saya masih bertahan menggunakannya.

Tahun 2013, adalah saya merasa Toshiba harus diganti dan posisi saya saat itu sedang di Busan, Korea Selatan untuk menyelesaikan studi S3 saya. Dengan bantuan teman saya yang paham teknologi perlaptopan, saya putuskan membeli laptop merk hp. Teknologinya sudah agak canggih, dimana dia cukup tipis. Saya pakai laptop ini kira-kira 5 tahun dan sudah merasakan membeli baterai laptop baru. Di tahun ke-5 nya, teman saya mencandai laptop saya sebagai pc dan bukan lagi portable karena harus selalu disambungkan ke listrik untuk bisa digunakan. Entah karena sedang di Indonesia, saya belum berpikir untuk membeli laptop baru. Kebetulan juga saya dapat hibah laptop Acer dari adik saya, sehingga laptop hp bisa saya tinggalkan tanpa perlu membeli.

Belum cukup satu tahun saya pakai laptop Acer itu, saya mulai menemui masalah. Proses charging baterainya kadang-kadang bermasalah, namun masih bisa saya abaikan. Hingga akhirnya Bulan Mei 2019, saya harus pergi ke Fukuoka, Jepang untuk kegiatan fellowship selama 6 bulan. Dan di Bulan Juni, laptop Acer itu menyerah kalah, tidak bisa lagi diisi baterainya. Cerita tentang charger dan proses pembelian laptop baru saya saat di Fukuoka ini sudah saya tuliskan di blog ini juga. Intinya di tahun 2019, saya membeli laptop ketiga saya, merk hp di Fukuoka, Jepang.

Jalan hidup adalah misteri. Saya tidak tahu dimana nanti saya akan membeli laptop keempat saya. Namun saya tidak berharap dalam waktu dekat ini. Mudah-mudahan error karena masalah update software dilaptop saya yang sekarang ini bukanlah masalah serius. Saya masih ingin bersama hp envy ini paling tidak 4-5 tahun lagi lah. Be nice to me my dear laptop!

Alam dan hijau

Barusan saat melihat wallpaper laptop saya, saya disajikan gambar hutan dengan pohon-pohon yang sangat besar dan dipenuhi lumut di batangnya dan tiba-tiba saya merindukan berada di nuansa itu. Apalagi sekarang dalam kondisi pandemi yang tidak bisa kemana-mana, membayangkan berada di alam seperti itu rasanya pasti menyenangkan dan menyegarkan sekali.

Saya teringat saat saya berada di Busan. Gunung dengan pohon-pohon tinggi dan lebat bisa sangat mudah di akses. Entah karena memang lokasinya yang tidak terlalu jauh terpencil atau mungkin juga karena akses transportasi yang cukup mudah. Sering saat saya sedang jenuh, dengan hanya bersepeda sekitar 20 menit dan sedikit mendaki, saya sudah bisa sampai di tengah hutan dikelilingi pohon pinus yang tinggi-tinggi dan sudah tidak lagi mendengar kebisingan kota. Aaahhh saya merindukan itu.

Lalu saat saya di Fukuoka tahun lalu, dengan hanya naik kereta lokal kurang lebih 20 menit, saya dan teman saya bisa melakukan pendakian ke sebuah gunung. Di dalamnya hanya ada kami berdua, pohon-pohon, air sungai dan hembusan angin. Aaahhh sangat menenangkan.

Di Indonesia, saya tidak pernah lagi merasakannya. Mungkin karena gunung-gunung itu jauh letaknya. Mungkin karena akses kesananya tidak mudah. Mungkin karena saya sibuk. Mungkin karena saya tidak punya teman. Atau mungkin karena saya terlalu banyak alasan.

Saya dan teman-1

Pada postingan ini saya akan menceritakan tentang teman-teman saya yang saya ingat proses awal bagaimana kami bisa dekat. Menurut saya, mencari teman yang cocok itu tidak gampang setelah kita meninggalkan bangku sekolah dan kuliah, karena kita sudah tidak terlalu banyak berinteraksi rutin dengan orang. Oleh karena itu, saya selalu merasa terkenang dengan prosesnya jika saya berhasil menemukan teman yang cocok.

Dan ini adalah cerita pertama saya tentang teman saya. Namanya Judith Aquino dan masih ada dua kata lagi di belakang sebagai nama panjangnya. Namun dia terbiasa dipanggil Judith. Dia berasal dari El Salvador dan kami pertama kali bertemu di Busan, Korea Selatan tahun 2010.

2010 adalah tahun pertama saya memulai program doktor di PKNU dan libur musim dingin saya mendapat tawaran untuk belajar Bahasa Korea. Saya dan Judith sekelas, di kelas beginner. Judith jauh lebih muda dari saya, dia datang ke Korea untuk mengambil program sarjana. Setelah beberapa minggu menjadi teman sekelas dan hanya interaksi standar yang kami lakukan, suatu sore setelah kursus kami selesai, saya iseng ajak dia pergi ke sebuah toko. Dari satu kali perjalanan ini saya merasa cocok dengannya.

Sejak saat itu kami sering melakukan aktifitas bersama. Saya sering mengajaknya pergi mengeksplorasi Korea sampai ke tempat-tempat terpencil. Kami berdua sepakat bahwa saya adalah “Dora” dan dia adalah “Boots” untuk setiap adventure kami. Yang saya suka dari Judith adalah, dia selalu siap kemanapun saya ajak pergi dan tidak pernah mengeluh meskipun kami harus tersasar-sasar.

Banyak perjalanan yang telah kami lakukan, sejak kami masih bersama-sama di Korea, hingga perjalanan ke Jepang. Bahkan saat saya sudah kembali ke Indonesia, dia mengunjungi saya dan kami-pun berkeliling-keliling. Di setiap perjalanan itu, banyak cerita dan pengalaman, dan juga argumen-argumen yang bisa kami kenang.

Judith, she is my best travel buddy.

Saat ingin ke Busan

Mumpung sedang di Fukuoka, saya sangat ingin pergi ke Busan karena jaraknya sudah sangat dekat. Lima tahun saya tinggal di Busan dan lima tahun sudah saya meninggalkan Busan. Atas ijin sensei dan pihak MIF, saya mencuri waktu saat tanggal merah disini untuk pergi ke Busan selama 3 hari nanti pertengahan September. Tiket sudah dibeli lewat tiket.com dan 1,5 juta rupiah untuk perjalanan pp Fukuoka-Busan naik Jeju Air. Selanjutnya yang perlu diurus adalah visa Korea karena WNI masih perlu visa ke Korea maupun Jepang.

Melalui beberapa informasi yang saya kumpulkan, baik melalui internet maupun teman yang pernah mengurus visa Korea, alhamdulillah semuanya bisa diurus di Konsulat Korea yang ada di Fukuoka. Pagi ini saya putuskan untuk pergi meskipun hujan mengguyur dari pagi hari. Berhubung karena hape yang bisa konek data internet rusak, saya benar-benar merancang perjalanan ini dengan mencari alternatif-alternatif kereta maupun bis yang bisa digunakan sebelum berangkat. 

Dari asrama di Ijiri, saya naik Nishitetsu Train ke Tenjin lalu naik bis no 300/301/303/W1 dari bus stop yang saya lupa namanya tapi tahu tempatnya di Tenjin Train Station. Kebetulan saat saya sampai di bus stop, bis W1 merapat dan saya naik sampai di Yahuoku Dome bus station. Hujan masih tetap mengguyur dan saya harus berjalan sedikit menuju perempatan jalan, menyeberang dua kali membentuk huruf L untuk sampai di Konsulat Korea. Dari bentuk bangunan sudah langsung tampak bahwa itu adalah Konsulat Korea karena bentuk atap bangunannya sangat khas atap tradisional Korea.

Di gerbang masuk, saya diminta untuk mengisi form pengunjung dengan menuliskan nama, kewarganegaraan, no paspor dan alamat. Disini saya hanya diminta menunjukkan paspor atau ID card, lalu saya diijinkan masuk melewati gerbang. Selanjutnya saya masuk ke bangunannya dan langsung disambut oleh konter-konter yang dibatasi kaca. Perempuan di balik konter langsung menyuruh saya mengisi form aplikasi visa. Saat saya lihat form-nya, ternyata tidak ada instruksi Bahasa Inggris, hanya ada Bahasa Jepang dan Korea. Sangat tidak nyaman bagi orang yang tidak bisa kedua bahasa tersebut. Alhamdulillah saya masih bisa mengingat-ingat Bahasa Korea, sehingga saya bisa mengisi beberapa bagian, meskipun tidak semuanya. Setelah selesai mengisi, saya serahkan form saya kepada perempuan di balik konter. Dia membantu saya mengisi beberapa kolom kosong.

Masalah muncul saat saya diminta mengisi alamat yang saya tuju di Korea, dan saya lupa menanyakan alamat teman saya. Ingin bertanya, tapi sinyal wifi tidak ada. Akhirnya otak kreatif saya menuliskan alamat rumah saya dulu saat di Korea, POPS 3 Daeyeon 1-dong hahaha. Mudah-mudahan tidak menjadi masalah nantinya. Kemudian saya bisa menggunakan poto yang saya bawa dari Indonesia, poto yang saya gunakan untuk apply visa ke Jepang sehingga saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk berpoto di photo booth yang tersedia karena saya ragu apakah saya bisa menggunakan photo booth itu (kendala bahasa). Syarat lainnya sangat sederhana dan sudah saya siapkan yaitu potokopi paspor dan ID card. Selanjutnya saya membayar uang sebesar 4,400 yen dan perempuan di balik konter meminta saya kembali hari Jumat untuk mengambil visa dan paspor saya.

Mengurus visa Korea di Fukuoka ini ternyata syaratnya tidak serumit saat saya mengurus visa Jepang saat saya masih di Korea dulu. Tidak sabar rasanya saya untuk segera berangkat ke Busan. Tujuan saya kembali ke Busan adalah untuk menikmati beberapa makanan Korea yang mulai saya rindukan seperti sundubu, tteopokki pedas dan Odeng. Selain itu saya merindukan bernyanyi di noraebang dan tentu saja saya merindukan teman saya, Teh Sisi^^.

A life without whatsapp

Merasakan tinggal di beberapa negara, membuat saya menyadari bahwa setiap negara memiliki aplikasi chatting-nya masing-masing. Lima tahun saya tinggal di Busan, Korea Selatan membuat sampai sekarang saya masih memiliki aplikasi chat Kakao Talk, karena di Korea Kakao-lah yang paling banyak digunakan. Pernah mengikuti workshop dua minggu di Xiamen, China membuat saya tahu bahwa orang China banyak menggunakan We Chat. Sekarang, 6 bulan tinggal di Jepang, saya tahu bahwa orang Jepang menggunakan Line. Bagaimana dengan orang Indonesia? Jawabannya adalah Whatsapp.

Kecanggihan teknologi handphone yang diikuti dengan berkembangnya begitu banyak aplikasi chat membuat orang yang harus pergi ke luar negeri tidak perlu khawatir dengan masalah komunikasi. Dengan hanya bermodalkan wifi, kita tetap bisa berkomunikasi dengan seluruh kontak yang kita miliki melalui aplikasi chat meskipun kita tidak memiliki no ponsel aktif di negara tersebut. Itu yang sudah saya rasakan selama hampir 4 bulan tinggal di Jepang ini. Yang penting kita bisa mengaktifkan aplikasi chat, semuanya akan baik-baik saja.

Tapi masalah saya hadapi saat tiba-tiba hape saya rusak terkena air laut saat pergi sampling ke laut. Suatu kebodohan yang akan selalu saya sesali. Tapi life must go on. Pilihan saya adalah membeli hape baru di Jepang atau mengandalkan hape lama saya yang kebetulan saya bawa. Tidak ingin melalui fase kerumitan komunikasi seperti saat saya membeli laptop dulu, saya putuskan saya akan bertahan selama sisa 2 bulan saya di Jepang ini dengan menggunakan hape lama saya. Tidak ada simcard yang bisa digunakan di hape lama ini, kecuali saya membeli simcard baru (dan saya tidak ingin membelinya).

Kembali menggunakan hape lama, memberikan saya pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan aplikasi chat. Selama ini saya menggunakan 5 aplikasi chat: whatsapp, telegram, line, kakao talk dan facebook messenger. Diantara 5 itu yang paling oke menurut saya adalah telegram karena dia bisa digunakan di banyak devices dan proses instalnya juga tidak rumit. Line cukup oke karena saat saya instal ulang di hape lama, tidak meminta verifikasi melalui no hape. Saya bisa memverifikasi menggunakan akun facebook. Yang paling tidak oke adalah kakao dan whatsapp karena keduanya meminta verifikasi melalui no hape disaat no hape saya tidak aktif di Jepang ini.

Hidup tanpa kakao saya rasa masih tidak terlalu bermasalah, karena saya sendiri cukup jarang menggunakan kakao. Beberapa kontak kakao saya yang masih aktif bisa dipindahkan komunikasinya ke facebook messenger. Tapi bagaimana dengan hidup tanpa whatsapp? Hampir semua kontak saya di Indonesia menggunakan whatsapp dan semua grup-grup whatsapp yang saya punya. Awalnya saya merasa paling stress dengan tidak bisanya whatsapp ini. Tapi setelah berdamai dengan diri sendiri, saya memutuskan harus menerima kenyataan ini dan mencari celah-celah untuk menghibur diri. Dan setelah celah-celah itu ditemukan, ternyata hidup tanpa whatsapp tidaklah sesulit yang saya bayangkan.

Tanpa whatsapp, saya jadi tidak selalu tergoda untuk melihat hape. Saat hape masih baik-baik saja, setiap saat saya selalu membuka hape hanya untuk melihat apakah ada pesan di whatsapp atau tidak. Tanpa whatsapp, saya merasa hidup agak tenang karena saya tidak merasa perlu memikirkan pekerjaan di Indonesia. Karena hampir semua pekerjaan di Indonesia ada di dalam grup-grup whatsapp. Dua hari sudah berlalu tanpa saya memiliki whatsapp, dan saya rasa saya baik-baik saja. Mudah-mudahan sampai dua bulan ke depan saat saya pulang ke Indonesia saya masih bisa bertahan dengan pola hidup ini. Life without whatsapp is not as bad as I imagined it would be!

When the talks get excited

Saya pernah membaca sebuah kalimat seperti judul di atas yang menurut saya maknanya adalah jika kita menemukan orang yang ternyata memiliki kesamaan dengan kita yang tidak pernah kita duga, sehingga pembicaraan menjadi jauh lebih menarik lagi. Dan saya baru mengalami kejadian ini.

Selama hampir dua bulan berada di Jepang ini, satu-satunya orang yang rutin menjadi teman komunikasi saya adalah Tanaka-san (sekretaris sensei).  Kami memutuskan untuk selalu makan siang bersama. Pilihan makan siang kami adalah pergi ke kafetaria kampus atau membawa bekal makan siang dan makan di ruangannya. Tapi lebih banyak kami membawa bekal, karena kafetaria kampus selalu ramai di jam makan siang. Dengan rutinitas ini, paling tidak setiap hari selalu ada saja hal-hal yang kami bicarakan. Baik tentang Indonesia maupun tentang Jepang.

Tapi siang ini, pembicaraan kami menjadi sangat-sangat menarik karena ternyata kami memiliki kesamaan yang tidak terduga. Hal ini diawali dengan pertanyaanya kepada saya “Do you know Dong Bang Sin Ki?” Mendengar pertanyaan ini saya sangat terkejut, “tentu saja saya tahu”. DBSK adalah grup idol favorit saya beberapa tahun yang lalu. Dan ternyata Tanaka-san juga fans dari DBSK. What a surprise! Benar-benar tidak menyangka saya. Karena beliau sebenarnya sudah tidak muda lagi, di saat saya juga sudah tidak bisa dikatakan muda lagi untuk menjadi penggemar idol. Tanaka-san 10 tahun lebih tua dari saya.

Akhirnya pembicaraan kami menjadi sangat heboh. Apalagi saat dia bercerita bahwa dia akan menonton konser DBSK di Fukuoka nanti tanggal 9 dan 10 November 2019. Dua hari dia akan pergi menonton konser DBSK. Sungguh luar biasa. Saya senang tapi nelongso. Yang membuat saya nelongso adalah, sebenarnya dia punya satu tiket lebih dan dia sedang ingin mencari orang yang berminat membeli tiket ini. Harganya 30 ribu yen. Saya tidak nelongso karena harga tiketnya. Saya nelongso karena tanggal 9 November adalah hari saya harus meninggalkan Fukuoka menuju Tokyo dan tanggal 12 November saya pulang ke Indonesia. Luar biasa nelongso rasanya.   Betapa saya ingin ikut dengannya untuk menonton konser DBSK. Karena 5 tahun saya di Korea saya tidak pernah menonton konser mereka. Tapi saya ingat pernah menonton mereka saat ada acara di Busan, dan ada banyak penyanyi-penyanyi yang datang. Tapi saat itu kurang memuaskan karena saya ingat sekali saat itu hujan, dan saya duduk di barisan yang jauh sekali dari panggung. Bahkan saat DBSK tampil, dari layar besar yang dipasang-pun saya tetap tidak bisa jelas melihat penampilan mereka, saking jauhnya posisi duduk saya. Tapi wajarlah, itu acara gratis.

Namun, nelongso saya sedikit terobati dengan hal lain yang masih berhubungan dengan dunia k-pop (aaahhh kapan ya saya beranjak dari dunia ini). Tadi malam saya nelongso (tulisan saya kali ini kenapa banyak kata nelongso-nya ya?). Dari akun FB saya, saya melihat informasi bahwa K.Will akan melakukan tour konser ke Jepang dan Fukuoka termasuk salah satu kota yang akan disinggahi. Wow… Saya ingin menontonnya. Tapi tadi malam saya sudah langsung menyerah dengan ide itu karena saya tidak tau bagaimana proses pembelian tiketnya, dimana konsernya akan dilaksanakan, dll. Saya sudah merasa tidak ada orang yang akan bisa saya mintai tolong untuk urusan ini. Tapi siapa sangka, siang ini harapan saya untuk menonton konser K.Will bisa menjadi kenyataan. Tanaka-san akan membantu saya mencarikan informasinya. Tahun 2012 saya menonton konser  K.Will di Busan, mudah-mudahan 5 tahun setelah itu saya kembali bisa menonton konsernya. Wow…wow…wow…What a lovely day is today^^.

Pencarian sebuah charger

Jadi, charger laptop saya sedang agak bermasalah. Saat laptop itu di-charge, dia sering on dan off sambil mengeluarkan bunyi notifikasi. Bunyi ini cukup membuat saya stress karena saya tau hal ini dapat merusak baterai laptop yang pada akhirnya merusak laptop. Sebenarnya masalah ini sudah saya rasakan sejak saya di Indonesia, atau sudah berlangsung mungkin kurang lebih 2 atau 3 bulan. Hanya saja saat itu masih bisa saya abaikan dan berharap masalah itu akan hilang. Tapi ternyata tidak, karena saya tau sebenarnya ada masalah pada kabel-kabel di charger itu sehingga proses pengisian baterai sering tersendat-sendat. Dan akhirnya saya mulai khawatir, karena laptop termasuk salah satu jiwa saya. Jika laptop saya mati, maka matilah salah satu jiwa saya (tidak bisa bekerja lagi…).

Akhirnya saya putuskan untuk mencari charger pengganti. Ada yang menawarkan opsi mencari online, namun karena khawatir tidak cocok, opsi ini tidak saya pertimbangkan. Menurut saya lebih baik mendatangi toko komputer dan membawa laptop sekalian untuk bisa disesuaikan chargernya. Berdasarkan informasi, saya bisa mendatangi salah satu retail supermarket besar yang menjual segala jenis keperluan termasuk laptop dan kawan-kawannya. Yodobashi, itu namanya, dan di Fukuoka lokasi terdekat dari saya adalah di Hakata. Jam 3 sore saya minta ijin untuk meninggalkan kampus kepada sekretaris professor (professor kebetulan sedang tidak masuk).

Dari kampus menuju Hakata cukup mudah, tinggal naik JR Train di Onojo Station (stasiun terdekat dari Chikuchi Campus, Kyushu University) dan langsung turun di Hakata Station. Dan alhamdulillah dapat kereta express, sehingga tidak terlalu banyak berhenti di stasiun-stasiun lainnya dan dalam waktu kurang dari 10 menit sudah sampai di Hakata Station. Satu hal yang cukup tricky di Jepang ini jika dibandingkan dengan di Korea adalah tentang exit station atau pintu keluar. Jika di Korea, kemanapun saya pergi naik subway, saya selalu mencari tahu terlebih dahulu pintu keluar saya. Karena jika salah pintu keluar, alamat kita bisa tersesat dan tidak sampai di tujuan. Tapi selama saya di Jepang ini, setiap saya ingin mencari suatu lokasi, jarang sekali saya mendapatkan informasi exit station-nya. Tampaknya kita bisa keluar dari pintu manapun dan setelah sampai di luar silahkan tentukan arah menuju lokasi yang diinginkan (dan tentu saja harus bermodalkan google map). Namun saya tidak pandai menentukan arah jalan saya meskipun sudah menggunakan google map. Kemungkinan terburuknya, meskipun sudah menggunakan google map namun tetap saja nyasar dan ini terjadi dalam usaha saya menemukan Yodobashi.

20190530_160225

Dengan sedikit perjuangan, saya berhasil menemukan Yodobashi. Sampai saat ini, menemukan sebuah lokasi di Jepang ini dengan bermodalkan google map masih membawa kebahagian tersendiri bagi saya. Bahagia itu ternyata sangat sederhana. Yodobashi sangat besar, bahkan mencari bagian komputer dan laptop-pun saya masih harus nyasar juga, pyuuh. Dan pencarian saya sia-sia, karena mereka tidak punya charger untuk Acer. Putus asa, pasti, tapi saya tidak boleh menyerah. Saya harus mendatangi satu toko elektronik lagi yang bernama BIC Camera. Namun lokasinya tidak di Hakata tapi Tenjin. Sama-sama pusat kota, jarak tidak terlalu jauh. Menurut google map, bisa naik subway atau jalan kaki. Jalan kaki kira-kira 2 km dan saya putuskan untuk jalan kaki. Gila, mungkin iya. Tapi saya ingin jalan-jalan sore, melihat-lihat sekeliling saya, yang tidak mungkin saya lakukan jika saya tidak sendirian (mana ada teman yang mau diajak jalan kaki sejauh itu). Ransel saya berat karena berisi laptop, sepatu flat saya tidak terlalu nyaman karena kaki saya berkeringat, tapi who’s care. Ini tentang diri saya sendiri dan yang saya rasakan sendiri.

Dalam perjalanan sejauh 2 km itu, ada banyak hal yang bisa saya amati dan poto. Termasuk penemuan sebuah kuil, pasar ikan dan juga persiapan orang-orang yang akan berjualan malam (semacam warung tenda). Kaki terasa sangat lelah, tapi bahagia saat berhasil menemukan BIC Camera. Dan ternyata sama saja, BIC Camera juga tidak menjual charger Acer. Kecewa? Tentu saja. Tapi sepanjang perjalanan 2 km itu saya sudah berdamai dengan diri sendiri seandainya saya akan mengalami kekecewaan. Terkadang disitulah kelebihan melakukan sesuatu sendirian. Kita hanya perlu memikirkan diri kita sendiri, tidak perlu memikirkan bagaimana perasaan orang lain. Jika saya pergi dengan orang lain, belum tentu dia mau diajak berjalan kaki sejauh itu. Dan jika dia mau, saat pencarian kita tidak menemukan hasil, perasaan bersalah pasti akan muncul terhadap orang itu.

Lalu apa yang harus saya lakukan dengan kegagalan ini? Saya harus kembali kepada opsi mencari online. Dan ini tampaknya  memerlukan bantuan orang native. Baiklah, besok akan saya bicarakan dengan Tanaka-san (perkenalkan, dia adalah sekretaris professor).

Payung

Kali ini saya ingin menuliskan tentang payung dan penggunaannya di tiga negara: Indonesia, Korea dan Jepang. Payung itu dalam Bahasa Inggris adalah umbrella, dalam Bahasa Korea adalah 우산 (usan) dan dalam Bahasa Jepang adalah 傘 (kasa). Semuanya sama-sama digunakan untuk melindungi tubuh dari hujan.

Namun di Korea dan Jepang ternyata ada istilah untuk payung yang tidak digunakan untuk melindungi tubuh dari hujan, tapi dari sinar matahari. Sebenarnya tidak hanya di kedua negara tersebut sih, tapi di Indonesia juga. Dulu jaman saya masih sering jalan kaki saat kuliah S1 di IPB kampus Darmaga yang sangat luas itu, saya juga sering memakai payung. Namun di Indonesia namanya tetap payung meskipun digunakan untuk melindungi diri dari sinar matahari. Dan payung yang digunakan juga sama, baik untuk hujan maupun untuk sinar matahari. Apa mungkin karena tidak banyak orang Indonesia yang berjalan kaki, sehingga tidak banyak yang memakai payung saat panas menyengat, sehingga tidak ada pengusaha kreatif yang ingin menciptakan payung khusus untuk sinar matahari di Indonesia?

Namun di Korea, payung itu berbeda. Payung untuk hujan adalah “usan” dan payung untuk sinar matahari adalah 양산 (yangsan). Bentuk kedua payung ini juga berbeda. Kalau payung untuk hujan hampir sama dengan payung di Indonesia, yang jelas anti air. Namun kalau payung untuk sinar matahari biasanya bentuknya lebih fancy, berbahan kain dan berenda-renda. Sangat jelas tidak bisa terkena air. Di Korea, rata-rata yang menggunakan ‘yangsan’ adalah ajumma (ibu-ibu) dan paling banyak tampak digunakan saat musim panas.

Nah, ternyata setelah tinggal di Jepang ini, saya juga tahu bahwa orang Jepang juga hobi menggunakan payung, tidak hanya saat hujan saja. Payung untuk sinar matahari dinamakan 日傘 (higasa). Kalau di Korea yang memakai banyak ibu-ibu, tapi di Jepang ini saya perhatikan anak-anak muda (perempuan, meskipun kadang-kadang laki-laki juga saya temui) juga memakai ‘higasa’ ini. Yang sedikit agak berlebihan menurut saya, mereka memakainya tidak hanya saat matahari sedang bersinar dengan terik, namun saat matahari pagi maupun sore mereka masih memakai payung ini. Hmm…bukannya matahari pagi baik untuk kesehatan?

a world without cash

Dunia sudah semakin canggih, teknologi berkembang sangat pesat. Satu hal yang saya rasakan sangat berbeda saat ini adalah keberadaan uang tunai. Saat ini mungkin kita sudah tidak terlalu memerlukan uang dalam bentuk fisik, tidak harus membawa uang tunai kemana-mana, cukup dengan sebuah kartu dan kita sudah bisa melakukan apapun terutama di negara maju seperti Korea. Sebuah pengalaman dari teman saya menyadarkan saya tentang hal ini. Saat itu kami berniat pergi ke suatu tempat naik bis umum. Di Korea, sistem pembayaran transportasinya sudah sangat canggih. Kita bisa membeli sebuah kartu yang disebut mybi card, dan dengan selalu mengisi ulang kartu tersebut kita sudah bisa menggunakannya untuk naik transportasi umum apapun (bis, kereta bawah tanah, bahkan taksi). Bahkan mybi card ini dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik, bukan seperti bentuk kartu pada umumnya. Selain mybi card, kartu atm pun bisa digunakan sebagai alat pembayaran transportasi. Intinya saat bepergian, tanpa uang tunai-pun kita masih bisa pergi kemana-mana asalkan kartu kita tidak kosong.

Nah, suatu hari teman saya mengalami masalah dengan kartunya, sehingga saat naik bis dia harus membayar dengan uang tunai. Pembayaran dengan uang tunai masih tetap bisa dilakukan. Hanya saja kami tidak menyadari bahwa membayar dengan uang pas akan lebih baik lagi. Ongkos bis di Korea adalah 1300 won. Karena teman saya tidak punya uang pas, dia membayar menggunakan uang 5000 won. Saat itu kami sudah agak sedikit ragu apakah bisa membayar menggunakan uang 5000 won. Hanya saja kami berpikir pasti si sopir bis punya kembaliannya. Tetapi ternyata semua tidak sesuai yang diharapkan. Setelah kami naik bis, sopir bis tidak segera memberikan uang kembalian kepada teman saya. Kami sempat kebingungan dan berpikir dia tidak melihat bahwa teman saya membayar dengan uang 5000 won. Setelah bertanya beliau menjelaskan saat ini dia tidak memiliki cukup uang untuk mengembalikan uang tersebut, dan dia meminta lain kali jangan membayar pakai uang sebesar itu. Dia bilang kami harus menunggu sampai ada beberapa penumpang yang membayar dengan uang tunai sehingga cukup untuk mengembalikan uang teman saya.

Akhirnya kami jadi memperhatikan setiap penumpang yang naik. Dan benar, tidak banyak orang yang membayar dengan uang tunai. Mereka semua sudah menggunakan mybi card. Kami khawatir sampai tiba di tempat tujuan kami, uangnya belum cukup untuk mengembalikan.  Dan berhubung tujuan kami termasuk pemberhentian akhir, terkumpul juga uang kembalian teman saya, meskipun sebagian besar dalam bentuk uang receh. Pengalaman ini membuat saya berimajinasi bahwa mungkin suatu saat nanti sudah tidak akan ada lagi uang dalam bentuk fisik, atau bahkan mungkin orang sudah tidak akan pernah lagi memegang yang namanya uang, semuanya hanya berupa uang virtual.